Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini
tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab
bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak
terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah
mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas
susu.
Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh
ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang
membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan
konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti
harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap
jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan
rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada
Allah.
CIRI-CIRI DALAM MA’RIFATULLAH
Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali
1.
asma’ (nama) Allah
2. sifat Allah dan
3. af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.
Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan :
1. sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah,
2. ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah,
3. pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT
4. sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya
5. berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya
6.
membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan
subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang
pernah diajarkan Rasulullah SAW.
Figur teladan dalam
ma’rifatullah ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama
dalam mengenali Allah SWT. Sabda Nabi : “Sayalah orang yang paling
mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. HR Al Bukahriy dan
Muslim. Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga
orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan keinginan dan
perasaannya sendiri.
Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama
amilun ( ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Allah : “Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” QS.
35:28
Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu
mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan
mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati
ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat,
dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali
dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia
menjauhinya.
Ada sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi
orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan
berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya
menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari
cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’ (randah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”
URGENSI MA’RIFATULLAH
a. Ma’rifatullah adalah
puncak
kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya.
Karena ma’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang
sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa
tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup
lain (binatang ternak). QS.47:12
b. Ma’rifatullah adalah asas
(landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia secara keseluruhan.
Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia
hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.
Sabda
Nabi : Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat
pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika
diberi karunia ia bersyukur” (HR.Muslim)
Orang yang mengenali Allah
akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah, tidak
untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya.
c. Dari Ma’rifatullah
inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk
mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi
dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan
Allah.
d. Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh.
e.
Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan
bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah
(alam kubur) dan kehidupan akherat.
SARANA MA’RIFATULLAH
Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah :
a. Akal sehat
Akal
sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an
yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap
pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah “
Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan
Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang
tidak beriman. QS 10:101, atau QS 3: 190-191
Sabda Nabi :
“Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang
Allah, karena kamu tidak akan mampu” HR. Abu Nu’aim
b. Para Rasul
Para
Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya
tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang
diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah :
“Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata
dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan )
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” QS. 57:25
c. Asma dan Sifat Allah
Mengenali
asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan
pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah.
Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada
makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia
untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan
menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama
pancaran cahaya Allah. Firman Allah :
“Katakanlah : Serulah Allah
atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik) QS. 17:110
Asma’ al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah :
“ Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” QS. 7:180
Inilah
sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali
Allah SWT (ma’rifatullah). Dan ma’rifatullah ini tidak akan realistis
sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid
rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut
dengan tauhid al ma’rifah wa al itsbat ( mengenal dan menetapkan)
kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid
thalab (perintah) yang harus dilakukan.
Wallahu a’lam (diambil dari kumpulan artikel motivasi)
Bismillahirrahmaanirrahim, Alhamdulillahi rabbil 'Aalamiin, Allahumma sholli 'alaa Muhammad Wa aali Muhammad, Ammaa Ba'du
Menurut
Asy-Syaikh Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan (Sunan Kudus), siapapun yang tafakkur
atau merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk
sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika
tidak, pasti mereka akan mendapat siksa.
Pada setiap zarrah (atomis),
mulai dari ukuran sub-atomis (quantum) sampai atomis, yang terdapat di
alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut,
semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah.
Allah SWT telah
berfirman; "Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di
langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan
sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari." (QS. 13:15)
Jadi,
semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan
rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah
ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Sunan
Kudus mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang
yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat
kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan
alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan
dzikirnya dalam lautan qolbu.
Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam
lautan pikiran.
Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan
kerinduan.
Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam ghaib.
Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia
cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asma-Asma dan
Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya
waktu.
Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasiaan Sirr al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam ke'baqa'an-Nya.
Sunan Kudus membagi tauhid dalam konteks makrifatullah menjadi empat samudera makrifat, yaitu :
- Tauhid Af'al sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam
perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala
sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.
- Tauhid Asma' adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang
mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada
Allah SWT. Allah sebagai Isim A'dham yang Maha Agung adalah asal dari
semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang
Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.
- Tauhid Sifat adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian
ini maka manusia dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan
memandang dan memusyahadahkan dengan mata hati dan dengan keyakinan
bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah
(Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama'
(mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar
sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat
tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami
secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu
pinjaman.
- Tauhid Dzat berarti mengesakan Allah pada Dzat.
Maqam Tauhid az-Dzat menurut Sunan Kudus adalah maqam tertinggi yang,
karenanya, menjadi terminal terakhir dari pemandangan dan musyahadah
kaum 'Arifin. Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada
Dzat adalah dengan memandang dengan mata kepala dan mata hati bahwasanya
tiada yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata.
Tauhid
Af'al pada pengertian Sunan Kudus akan banyak berbicara tentang
kehendak Allah SWT yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia
yaitu takdir. Apakah kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik
atau buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan
kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan
memilih, dengan pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah
melekat padanya sebagai makhluk sintesis yang ditempatkan dalam suatu
kontinuum ruang-waktu relatif.
Tauhid Af’al adalah
Samudera Pengenalan,
di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat
Allah harus mendekat ke pintu ampunan Allah untuk bertobat dan
menyucikan dirinya,
menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dengan ketaatan
kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pada-Nya,
mendekat kepada-Nya
untuk menauhidkan-Nya,
beramal untuk-Nya agar memperoleh ridha-Nya.
Kalau saya proyeksikan ke dalam sistem qolbu yang diulas sebelumnya
mempunyai tujuh karakteristik dominan, maka di Samudera Af'al inilah
seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya dari
dominasi nafs ammarah, menuju lawwamah, menuju mulhammah, dan mencapai
ketenangan dengan nafs muthma'innah.
Dalam Samudera Asma',
maka hijab-hijab tersingkap dengan masing-masing derajat dan
keadaannya.
Ia yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin
melathifahkan dirinya ke dalam kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki
medan ruh ilahiah-Nya (dominasi qolbu oleh ruh yang mengenal Tuhan).
Samudera Asma' adalah Samudera Munajat dan Permohonan,
difirmankan oleh
Allah SWT bahwa “Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang baik (al-Asma
al-Husna) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu."
(QS. 7:180).
Di samudera inilah salik akan diuji dengan khauf dan raja',
keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-keadaan
ruhaniah lainnya.
Di tepian Samudera Asma' adalah lautan
kerinduan yang berkilauan karena pendar-pendar cahaya rahmat dan kasih
sayang Allah.
Di Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan
Cinta Ilahi, sinar kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak-riak
gelombang yang menghalus dengan cepat, menciptakan kerinduan-kerinduan
ke dalam rahasia terdalam.
Lautan Kerinduan adalah pintu memasuki
hamparan Samudera Kerahasiaan.
Tauhid as-Sifat adalah
Samudera Kerahasiaan atau Samudera Peniadaan karena di samudera inilah
semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua atribut kediriannya
sebagai makhluk, semua hasrat dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan
apa pun yang melekat pada makhluk tak lebih dari suatu anugerah dan
hidayah kasih sayang-Nya semata, maka apa yang tersisa dari Lautan
Kerinduan atau Lautan Cinta Ilahi adalah penafian diri.
Apa yang melekat
pada semua makhluk adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya
yang dilimpahkan, sebagai piranti ilahiah yang dipinjamkan dan akan
dikembalikan kepada-Nya.
Siapa yang kemudian
menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harus
mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi kerahasiaan
ilahiah didominasi kerahasiaan sirr dengan suluh cahaya kemurnian yang
menyemburat dari kemilau yang membutakan dari samudera yang paling
rahasia sirr al–asrar yakni Samudera Pemurnian dari Tauhid az-Dzat.
Di
tingkatan Tauhid az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah
Samudera Penghambaan atau Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai
tingkatan ruhaniah tertinggi dengan totalitas tanpa sambungan. Suatu
tingkatan tanpa nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af’al
sudah tidak ada. Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi
tentang ketauhidan hanya dapat dilakukan oleh Allah Yang Mandiri,
“Mengenal Allah dengan Allah”. Inilah maqam Nabi Muhammad Saw, maqam
tanpa tapal batas, maqam Kebingungan Ilahiah. Maqam dimana semua yang
baru termusnahkan dalam kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan
dalam pengertian ruang dan waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula
semua kebingungan, semua peniadaan, termurnikan kembali sebagai yang
menyaksikan dengan pra eksistensinya.
Ketika salik
termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia terbaqakan didalam-Nya.
Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba Allah semata. Maka, di
Samudera Penghambaan ini menangislah semua hati yang terdominasi rahasia
yang paling rahasia (sirr al-asrar).
Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan ungkapkan.
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa “semua makhluk akan
musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.”
Engkau katakan juga, “Tidak ada yang serupa dengan-Mu.”
Lantas, bagaimanakah aku tanpa-Mu,
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab,
Diri-Mu hanya tersingkap oleh diri-Mu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh Dia-Mu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh Engkau-Mu Sendiri,
Sebab,
Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera Pemurnian-Mu,
biarkan aku memandang-Mu dengan cinta-Mu,
menjadi sekedar hamba-Mu dengan ridha-Mu,
seperti Nabi Muhammad yang menjadi Abdullah Kekasih-Mu.
Penguraian
tauhid yang dilakukan oleh Sunan Kudus memang didasarkan pada
langkah-langkah penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena,
pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam
setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma', Sifat dan
Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang
lebih formal maupun khusus, yang diperoleh dari melayari keempat
Samudera Tauhid tersebut. Hasil akhirnya, kalau tidak ada penyimpangan
yang sangat mendasar, sebenarnya serupa dengan pengalaman makrifat para
sufi lainnya yakni pengertian bahwa ujung dari makrifat semata-mata
adalah mentauhidkan Allah sebagai Yang Maha Esa dengan penyaksian dan
keimanan yang lebih mantap sebagai hamba Allah.
(Wallaahu A'lamu Bish Shawwab)